Langsung ke konten utama

Mental Health Berpengaruh terhadap Pola Asuh Anak





Ada sebuah pertanyaan menggelitik ketika saya menghadiri sebuah seminar parenting,

petanyaan itu awalnya membuat seisi peserta seminar terheran-heran, bahkan beberapa protes.

Merasa bahwa pertanyaan itu tak butuh jawaban.

Apa pertanyaannya?

"Sudahkan Anda bahagia mengasuh anak Anda?"

Spontan semua tersenyum, tertawa bahkan kompak berseru "tentu saja bahagia",

Sang pemberi materi dalam seminar itu lalu menghilangkan senyumannya.

Ia lalu berkata, bahwa seharusnya para peserta jujur tehadap dirinya sendiri.

Para peserta saat itu juga mulai banyak yang memikirkan kata-kata sang pembicara.

beberapa sudah mulai berubah tanggapannya, beberapa ada yang tetap dengan pendiriannya.

Sang pemateri akhirnya menampilkan sebuah video, video itu berisi tentang pola asuh orang tua karena Inner child nya belum pulih.

Apa itu Inner child?

Inner child adalah sekumpulan peristiwa masa kecil yang baik atau buruk, dan membentuk kepribadiaan seseorang hingga dewasa.

Jika seseorang memilki Inner child yang positif maka tidak perlu kekawatiran berlebih, bisa dipastikan dia dalam menjalani kehidupan memiliki prinsip dan kenangan yang baik.

Sedangkan jika Inner Child negatif, apabila tidak bisa di sembuhkan segera akan sangat memperngaruhi seseorang tersebut dalam menjalani kehidupannya sampai sekarang ini.

Kembali pada pembahasan mengasuh anak.

Nah keterkaitan antara inner child itu sendiri sangat erat, inner child yang negatif inilah yang tanpa sadar menimbulkan rasa tidak bahagia dalam mengasuh anak.

Coba kita selami, adakah selama kita kecil dulu, pernah mendapatkan 12 gaya populer berkomunikasi antara orang tua dengan anak? 12 gaya populer itu adalah sebagai berikut :

1. Memerintah
Tujuan orang tua adalah untuk mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat, sedangkan pesan yang ditangkap anak adalah mereka harus patuh dan tidak punya pilihan
 
Ibu: ”Segera bereskan mainanmu, ibu nggak mau tahu setelah ibu selesai masak sudah harus beres semuanya!"
Anak:  ”Tapi, aku masih mau main bu”

2. Menyalahkan
Orang tua ingin menunjukkan kesalahan si anak, sedangkan tanggapan si anak adalah mereka tidak pernah benar/baik.
Anak: “Ma, kakiku luka nih…sakit sekali. Tadi habis jatuh..”
Mama: “Nah, kan? Dari tadi Mama bilang jangan lari-lari, makanya jatuh.. Ga pernah mau dengerin Mama sih”

3. Meremehkan
Tujuan orang tua menunjukkan ketidakmampuan anak dan orang tua lebih tahu, anak menangkap bahwa dirinya tidak berharga/merasa tidak mampu
Anak:”Ayah, aku tidak bisa melipat baju ini”
Ayah: “Masa begini saja ga bisa.  Bisanya apa dong?”

4. Membandingkan
Orang tua ingin memberi motivasi dengan memberi contoh tentang orang lain, tapi anak menanggapi bahwa dia tidak disayang, pilih kasih dan merasa dirinya memang selalu jelek. 
Anak: ”Aku mau ditemani tidur sama Bunda..”
Bunda : “ Iih, masak sudah besar masih ditemeni..malu tuh sama siska berani tidur sendiri, padahal di perempuan loh”

5. Mencap
Maksud orang tua ingin memberitahu kekurangan agar anak berubah, anak menanggapi dengan merasa itulah dirinya
Anak: “Ayah, aku tadi jatuh dari sepeda, sakit sekali”
Ayah : “Kamu ini memang anak cengeng, jatuh itu sudah resiko main sepeda!”

6. Mengancam
Orang tua melakukan agar anak menurut/patuh dengan cepat, tapi anak akan merasa cemas dan takut
Anak : “Ayah temeni aku tidur”
Ayah : “Tidur sendiri, kalau nggak besok ayah nggak mau ajak jalan”

7. Menasehati
Maksudnya agar anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, namun anak menganggap bahwa orang tuanya sok tau, bawel dan membosankan
Anak:  “Ma, tadi aku dicubit temanku.”
Mama:  “Makanya kamu jangan suka jahilin temanmu, nggak mau juga kan diusilin? Lain kali sama teman yang baik, jangan maumu sendiri”

8. Membohongi
Maksudnya agar urusan menjadi gampang, namun anak akan menilai bahwa orang dewasa tidak dapat dipercaya
Anak:  ”Ayah, kenapa kalau makan kaki tidak boleh gerak-gerak?”
Ayah:  ”Iya, itu yang gerakin setan, berarti kamu makan sama setan”

9. Menghibur
Tujuan orang tua adalah agar anak tidak sedih/kecewa, sehingga anak jadi senang dan tidak larut dalam kesedihan, namun anak akhirnya akan lupa dan melarikan diri dari masalah
Anak: ”aku kesel! tadi aku didorong sampai jatuh sama Anto.”
Papa: ”Ya sudah…berteman sama yang lain saja.  Kan masih banyak temen yang lain”

10. Mengkritik
Orang tua menginginkan agar anak memperbaiki kesalahan dan meningkatkan kemampuan diri, namun anak akan merasa bahwa dirinya selalu kurang dan salah
Anak: ”Ibu, aku sudah selesai merapikan tempat tidurku.”
Ibu: ”Ini sih masih berantakan, ulang lagi yang bener!”

11. Menyindir
Memotivasi, mengingatkan agar tidak selalu melakukan seperti itu dengan cara menyatakan yang sebaliknya, anak akan menganggap hal ini menyakiti hati
Anak::  ”Aku nggak mau makan sayurnya mah, pahit”
mamah:  ”Ooo..jadi nggak mau makan biar sakit gitu ya.”

12. Menganalisa
Orang tua ingin mencari penyebab positif/negative anak atau kesalahannya dan berupaya mencegah agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi, namun anak akan menganggap orang tua sok pintar
Anak: ”Ibu aku nggak mau lagi cuci piring, capek”
Ayah: ”Itu karena cara cuci piringmu salah, coba seperti yang ibu ajarkan, bersihkan dulu kotorannya, beri sabun bilas dan tiriskan, pasti kamu lebih sibuk main airnya dari pada nyuci piringnya."

Jika pernah, coba kembalikan ke diri kita sekarang, adakah 12 gaya populer ini kita terapkan kepada pola asuh anak-anak kita sekarang?

Lalu apa hasilnya?

Apalagi jika bukan hanya verbal, tapi ada main fisik dan penganiayaan terhadap anak seperti memukul, mendorong, mencubit, memukul yang mana tujuannya sama sekali bukan buat mendidik.

Hal ini tanpa kita sadari, kita adalah "Anak kecil yang mengasuh anak kecil"

Lalu bagaimana mengatasi hal ini?

Sembuhkanlah inner child Anda.

Dengan apa ? Maafkanlah diri Anda sendiri, merdekakakanlah diri Anda dari trauma masa kecil yang tidak bahagia, sehingga Anda bisa mengasuh anak dengan lebih  baik lagi. tanpa bayang-bayang inner child negatif tadi.

Hal ini menandakan bahwa mengasuh anak butuh kesehatan mental (Mental Health) yang stabil, salah satu caranya adalah dengan menyembuhkan diri dari inner childnya, mendekatkan diri pada tuhan, meminta bantuan suami atau keluarga dalam mengasuh anak, serta selalu berpikiran positif akan masalah yang di hadapi.

Apalagi semakin bertambah usia anak, maka semakin berat tantangannya.

Jika kesehatan mental kita dari awal tidak sehat, bagaimanalah kita bisa mencetak anak yang bahagia?

bagaimanalah kita bisa mengharapkan anak kita menjadi anak yang saleh dan saliha.

Bagaimana bisa? jika kita tidak segera memperbaiki kesehatan mental kita sebagai seorang ibu.

Anda butuh bahagia dahulu, baru bisa membahagiaakan anak Anda.

Sehatkan jiwa dan raga Anda, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan :

1. Libatkan peran pasangan dalam membuat support system pengasuhan

2. Ibu harus memiliki Me Time

3. Pasangan bisa memberikan hadiah baik berupa barang ataupun ucapan sanjungan kepada istrinya, agar hatinya senang dan merasa diperhatikan.

4. Luangkan waktu untuk berolah raga yoga, karena di percaya dapat menstabilkan emosi dan menemukan kedamaian dalam hati.

5. Belajar dan berusaha untuk berdamai dengan masa lalu, seta menjauhi 12 gaya populer dalam berkomunikasi.

Semoga Aku, kamu, kita bisa menjadi ibu dan orang tua yang bahagia untuk diri kita sendiri terlebih untuk anak dan keluarga kita, aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5. Please ... Don't Judge The Book From The cover

"Maju Bukan Karena Dipuji ,  Mundur Bukan Karena Dicaci" Hai pejuang bloger ...  Pernah nggak ngalamin kalau kita tuh  dinilai dari suara kita ? Belum pernah bertemu, hanya komunikasi lewat chat. Bukan pula komunikasi sebagai teman, Apalagi sahabat, ini bicara tentang pekerjaan. Saya cerita lagi boleh ya ... Setelah pekerjaan yang dia bekerja tapi tidak digaji di cerita saya sebelumnya  https://iethajannah.blogspot.com/2020/06/mau.html , saya lalu dibuat kecewa. duhhh baper banget kayaknya hahahhaha. Saya tuh merasa kehilangan pekerjaan, sehingga saya merasa setelah ini saya kerja apa? Bayang-bayang mencari pekerjaan sulit membuat saya memiliki kekawatiran berlebih. Selama tiga hari saya menangisi pekerjaan saya yang saya sangat kecewa dengan kamuflase dan kebohongan. Babe walaupun di satu sisi senang saya akhirnya menyadari dan berhenti bekerja, toh ikut merasakan kesedihan dan kesusahan saya. Babe bilang, di luar sana masih banyak pekerjaan yang lebih mumpuni dan berkualita

6. Kekuatan Itu Bernama Mental

Hai pejuang bloger ... Pernah punya pengalaman nekad nggak ? nekad dalam usaha ... maksutnya, tidak ada persiapan khusus, namun mengambil keputusan spontan hanya karena sebagian hati mengatakan ini hal yang patut dicoba, dan sebagian lainnya menguji keberanian melakukan sesuatu yang baru. Itu terjadi sama saya, waktu memutuskan untuk berjualan roti. saya suka roti ... apalagi tinggal makan hahahahah roti itu mengingatkan saya akan masa kecil. duluu banget waktu masih duduk di bangku SD Setiap sore, saya menunggu abang roti lewat dengan mobil bergambar koki memegang roti hangat. dulu cara penjualan roti dengan menjemput bola, masih jarang dititip ke warung atau swalaayan, padahal seingat saya lebih keren seperti saya kecil dulu. mobil roti itu lewat sekitar jam 16.00 lalu sambil membunyikan musik panggilan roti, anak-anak akan segera mendekat, lalu merayu orang tua mereka untuk membeli. hampir setiap hari, tukang roti tahu bahwa daerah perumahan terkenal dengan anak-anak yang bisa membu

3. PUSH YOUR LIMIT

Holla pejuang bloger … Masih semangat donk yaaa … Jumpa lagi dengan saya, dalam pembahasan bisnis ala saya. Jika kemaren kita sedikit mengulas reseller dan dropship, diujung tulisan saya, saya sedikit menyinggung agar kita bisa push limit. Sebenarnya apa sih push limit itu ? dan kapan waktu yang tepat kita perlu untuk mengepush limit kita ? Push limit diartikan pemaksaan di batas kemampuan kita, seperti kondisi dimana kita dipaksa untuk bisa melakukan sesuatu. Waktunya kapan ? yaa tergantung kebutuhan, berikut saya coba paparkan dari apa yang disadur dari group pasukan B Erl Cosmetic. Push yourself because no one else is going to do it for you. Sebagai contoh banyak yang tidak sadar bahwa pandemi Covid-19 mampu mengubah pola hidup sebagian besar manusia. Sebelum virus ini menyebar, kita semua memiliki alasan masing-masing yang dijadikan pembenaran atas kebiasaan yang kita lakukan. Ada yang setiap hari kumpul-kumpul dengan teman-temannya yang tidak baik sehingga ia ter